Anyaman Tradisional dan Konsep Berpikir Suku Sunda Rajapolah

Menurut J.J. Hoenigman (Wikipedia, 2008) Anyaman Merupakan wujud kebudayaan, yang termasuk dalam artefak. Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.  Anyaman pertama kali digunakan manusia, yaitu untuk membantu dalam kehidupannya sehari-hari. Anyaman merupakan salah satu bentuk lain dari gerabah yang terbuat dari pengaturan bilah-bilah selain dari gerabah yang terbuat dari tanah liat. Banyak sekali jenis anyaman tradisional yang terdapat di suku Sunda. Dimana beda material beda juga nama dan teknik menganyam. Di Rajapolah sendiri setidaknya ada 3 jenis material yang digunakan yaitu adalah bambu, pandan, dan mendong. Tiap bahan memiliki karakteristik dan beberapa diantaranya memiliki filosofi yang sangat kuat. Motif anyaman tradisional sangat beragam hal ini dikarenakan bahan yang digunakan dalam pembuatan anyaman berbeda-beda, namun beberapa motif anyaman meskipun bahan berbeda ada yang diberi nama sama, hal ini melihat dari kesamaan bentuk motifnya. Dilihat dari keadaan diatas, masyarakat Sunda Rajapolah telah memiliki sebuah pemikiran yang sangat logis dan jauh dari sifat mistis dalam pembuatan motif anyaman, sehingga nama yang diberikan merupakan nama anyaman yang diambil dari alam dan kehidupan yang mereka jalani. Beberapa bahan anyaman memiliki filosofi yang kuat. Bambu adalah salah satu bahan anyaman yang sangat kental dengan makna,

Apalagi jika kita menghubungkan dengan suku Sunda. Masyarakat Sunda sudah sedemikian lama berhubungan akrab dengan bambu, banyak pengalaman leluhur yang bisa dipetik, sejak lahir hingga mati, orang Sunda selalu dipertemukan dengan bambu. Menurut Pengurus Harian Yayasan Bambu Indonesia, Jatnika (Kompas, 2007), menuturkan “Di masa lalu, seluruh rangkaian hidup orang Sunda penuh dengan bambu,” katanya. pada saat dilahirkan, bayi-bayi Sunda dahulu dilepaskan dari ari-arinya menggunakan sembilu dari bambu. Lalu bayi tersebut disimpan dalam ayakan atau saringan besar terbuat dari bambu. Ketika bayi lelaki disunat, pisau penyunatnya terbuat dari bambu. Saat belajar berjalan, orangtuanya membuat tonggak-tonggak dari bambu  di halaman yang bisa dikitari oleh anak tersebut. Saat makin besar, ia dibuatkan Jajangkungan (mainan dari bambu) untuk berlatih keseimbangan, kakinya akan naik ke bambu yang tinggi dan ia berjalan di atasnya sehingga bisa melihat desa dari atas. Makin besar,mereka mengasah keterampilan tangan dan kekompakan dengan teman melalui berbagai permainan, seperti bebedilan atau pistol mainan, mereka juga membuat alat musik untuk hiburan, seperti angklung, calung, dan suling.  Di kalangan keluarga, mereka menggunakan daun bambu untuk membungkus makanan seperti bacang dan wajit. Mereka juga memakan rebung atau anak bambu untuk sayur. Sehari-hari mereka tinggal di rumah bambu dan membuat mebel dari bambu. Perkakas rumah tangga seperti pengki (tempat sampah) hingga aseupan (pengukus) terbuat dari anyaman bambu. Ketika sudah tua, orang Sunda membuat tongkat dari bambu. Saat meninggal, ia ditandu dengan keranda bambu dengan penutup jenazah dari anyaman bambu.  Bambu juga merupakan bahan bangunan yang hingga kini digunakan oleh masyarakat Sunda yaitu digunakan dalam pembuatan sekat atau dinding rumah yang tidak lain sering disebut bilik, tentu saja digunakan di rumah-rumah yang terdapat di Perkampungan dengan menggunakan 4 hingga 6 buah penyangga dari batu, dan menurut penelitian rumah jenis ini dapat meminimalisir guncangan gempa. Selain itu pula bambu digunakan sebagai alat musik, angklung dan suling sudah digunakan orang Sunda sejak abad ke-7.  Selain bambu bahan dasar lain seperti pandan memiliki nilai filosofi dalam kehidupan masyarakat Sunda. Pandan memiliki karakteristik yang mudah dibentuk, halus, dan lentur. Pandan mempunyai nilai filosofi yang cukup tinggi, menurut Ali Sastramidjaja (2007)  nilai filosofi yang terkandung dari pandan dapat kita lihat pada produk anyaman, yaitu adalah tikar pandan atau samak. Pada jaman dahulu masyarakat Sunda mempunyai kebiasaan bahwa samak  merupakan keluarga. hal ini dapat dilihat dari keseharian masyarakat Sunda dahulu, mereka lahir diatas tikar, saat ada waktu berkumpul mereka ada diatas tikar dan ketika meninggal ditutup oleh tikar pula. Selain itu pandan juga memiliki keunggulan yang mungkin tidak semua suku atau bangsa tahu, yaitu saat bayi suku Sunda lahir, darah yang tercecer pada tikar pandan, dapat dibersihkan dengan mudah dan bau dari darah dapat hilang dengan cepat, selain digunakan dalam proses kelahiran, samak digunakan pada saat seseorang meninggal, dimana jasadnya akan ditutup oleh kain kafan dan ditutup oleh tikar pandan, menurut warga sekitar dengan tikar itu sendiri maka bau mayat tidak akan tercium, sehingga tidak akan menimbulkan fitnah atau kejadian yang tidak diinginkan. Selain dari bahan pembuat anyaman, filosofi kehidupan masyarakat Sunda dapat dikaji dari segi bentuk benda anyaman yang mewakili filosofi hidup suku Sunda. Menurut Mamat Sasmita (Pendiri Rumah Baca Buku Sunda) pada boboko (tempat nasi) bentuknya yang unik, bentuk atasnya yang membulat dan bawahnya yang menggunakan alas berbentuk persegi merupakan filosofi hidup masyarakat Sunda yaitu “tekad kudu buleud, hidup kudu masagi” yang artinya menurut bahasa tekad harus bulat, dan hidup harus persegi, yang secara garis besar bisa diartikan kita harus mempunyai tekad yang teguh dan tidak goyah dan hidup kita harus teratur.

Recent Posts :

1 Comment (+add yours?)

  1. Hotel Garut
    Jun 01, 2013 @ 15:14:11

    Can I simply say what a comfort to uncover an individual who genuinely understands what they’re discussing on the web. You definitely know how to bring a problem to light and make it important. More people have to check this out and understand this side of the story. I was surprised you are not more popular since you surely have the gift.

    Reply

Leave a comment